Sampai hari ini ada kebingungan di benak banyak orang mengenai penulisan yang benar apakah Yogyakarta atau Jogjakarta. Orang kerap menjumpai penulisan kota budaya ini sebagai Yogyakarta atau Jogjakarta bahkan di dokumen resmi, surat kabar, aktivitas di kampus, atau tertera di gedung pemerintah.
Di stasiun Tugu, Yogyakarta, ada tertulis di sana nama Yogyakarta dan Jogjakarta sekaligus. Sebuah koran yang berpusat di Surabaya dan media cetak yang bernaung di bawah grup ini menuliskan Yogyakarta sebagai Jogjakarta, dan DIY dengan DIJ. Di bandara kita juga mengenal singkatan JOG untuk Yogyakarta, namun tidak sedikit yang mengira itu Jogjakarta. Padahal lebih tepat itu singkatan untuk Jogja.
Banyak nama, banyak penyebutan
Umumnya orang sepakat dan sudah tahu kalau Jogja adalah nickname untuk kota Yogyakarta. Menyebut Yogyakarta dalam pembicaraan sehari-hari terasa kurang praktis. Lebih enak cukup mengatakan dengan kata Jogja. Di beberapa kota sekitar Yogyakarta, terutama saat berbicara dengan bahasa Jawa, Jogja disebut Yojo, atau ada juga yang menyebut Yogjo.
Kata Jogja ini lebih sering diucapkan oleh mereka yang mengunakan bahasa Indonesia, misalnya mereka yang berasal dari Jakarta. Jogja juga lebih mudah diucapkan oleh turis manca negara, sehingga kita sering mendengar mereka melafalkan Yogyakarta sebagai Jogjakarta.
Yogyakarta sendiri berasal dari nama kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang berdiri tahun 1755. Kerajaan ini menjadi cikal bakal kota Jogja sekarang. Sifat keistimewaan daerah ini antara lain adalah rajanya menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta sendiri dari kata ayodhya yang berarti tak tertandingi, dan karta negeri yang makmur.
Kisruh salah tulis Yogyakarta menjadi Jogjakarta kemungkinan diawali pada tahun 2003 saat Sultan Hamengkubuwono X minta bantuan Hermawan Kertajaya membuat branding kota Yogyakarta. Dia dikenal sebagai pakar marketing. Muncul dari sana kata Jogja Never Ending Asia. Kata Jogja menjadi tidak sekadar makin dikenal dalam bahasa tutur sehari-hari, tapi juga dituliskan. Lalu kesalahan tulis itu terjadi di mana-mana, Yogyakarta menjadi Jogjakarta. Kini Jogja Never Ending Asia sudah tidak digunakan lagi. Mulai Maret 2015 branding barunya adalah Jogja Istimewa.
Kesalahan tulis Yogyakarta menjadi Jogjakarta ini diperparah atau menjadi semakin massif tatkala sebuah group media menuliskan Yogyakarta sebagai Jogjakarta, dan DIY sebagai DIJ. Banyak pembaca menanyakan kebijakan redaksi koran itu mengapa menuliskan demikian.
Jajaran redaksi membela diri dengan menyampaikan beberapa alasan. Pertama, UU Nomor 3 Tahun 1950 berisi tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta dan penyebutannya bukan Yogyakarta. Kedua, belum ada dokumen resmi perubahan penyebutan Jogjakarta menjadi Yogyakarta. Ketiga, UU Nomor 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte Kota Jogjakarta, tertulis Jogjakarta. Keempat, dalam lambang Kota Yogyakarta, tertulis Kota Pradja Jogjakarta.
Alasan lengkapnya bisa dibaca di sini.
Yuridis
Apakah alasan yang diajukan itu cukup kuat? Mari kita kupas satu-satu. Pertama, benar bahwa UU Nomor 3 Tahun 1950 menyebut Jogjakarta dan bukan Yogyakarta. Tapi ini semata-mata memang karena ejaan waktu itu huruf Y ditulis J. Sangat jelas di dalam UU itu ayat masih ditulis ajat, yang ditulis jang. Ejaan yang berlaku saat itu adalah ejaan Soewandi.
Kedua, dokumen resmi yang bisa menjadi pegangan perubahan penulisan Jogjakarta menjadi Yogyakarta sebenarnya ada dan banyak. Misalnya, UU tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta jelas-jelas menyebut dalam pasal 1 ayat 1 “Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut DIY, adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sangat jelas tertulis Yogyakarta, dan bukan Jogjakarta. DIY, bukan DIJ.
Ketiga, UU nomor 17 tahun 1947 menuliskan kata Yogyakarta sebagai Jogjakarta itu juga karena memang ejaannya waktu itu demikian. Kata yang mengandung huruf Y ditulis J. Kita mengenal ejaan Van Ophuysen yang ditetapkan pada 1901. Pada masa itu huruf U misalnya, ditulis OE. Ejaan Van Ophuysen diganti ejaan Soewandi sejak 1947. Huruf OE lalu diganti dengan U. Huruf Y masih ditulis J. Pada 1972 muncul ejaan yang disempurnakan. Pada masa ini huruf F, X, dan Z sebagai huruf serapan dipakai secara resmi.
Terkait sejarah pemakaian huruf J menjadi Y, bisa dijabarkan sebagai berikut. Pada ejaan Van Ophuysen tertulis Ja’ni, berubah menjadi Jakni pada ejaan Soewandi, lalu berubah menjadi Yakni pada ejaan yang disempurnakan. Pemakaian EYD diresmikan melalui Kepres Nomor 57 tahun 1972, berlaku mulai 17 Agustus 1972. Bahkan karena ditulis sebelum diresmikan, di dalam kepres masih tertulis “Ditetapkan di Djakarta, Pada tanggal 16 Agustus 1972, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd, SOEHARTO, DJENDERAL TNI.
Keempat, dalam lambang kotapraja Yogyakarta yang ditulis kotapradja Jogjakarta itu juga karena menggunakan ejaan lama. Dulu Pancasila pernah ditulis Pantjasila, Bhinneka Tunggal Ika ditulis Bhinneka Toenggal Ika. Sementara lambang itu sendiri sudah diubah menjadi lambang kota Yogyakarta. Sebutan kotapraja tidak berlaku lagi sejak tahun 1965, berdasarkan UU nomor 18 tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Dearah.